Tawuran yang sering dilakukan pada sekelompok remaja terutama
oleh para pelajar seolah sudah tidak lagi menjadi pemberitaan dan pembicaraan
yang asing lagi ditelinga kita. Inilah beberapa contoh yang bisa kita kemukakan
sebagai bukti terjadinya tawuran yang dilakukan oleh para remaja beberapa tahun
lalu. Dalam hal tawuran, di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan
Medan, tingkat tawuran antar pelajar sudah mencapai ambang yang cukup
memprihatinkan. Data di Jakarta misalnya (Bimmas Polri Metro Jaya),
tahun 1992 tercatat 157 kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat menjadi
183 kasus dengan menewaskan 10 pelajar, tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan
korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat lain. Tahun 1998 ada 230
kasus yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota Polri, dan tahun berikutnya
korban meningkat dengan 37 korban tewas. Terlihat dari tahun ke tahun jumlah
perkelahian dan korban cenderung meningkat. Bahkan sering tercatat, dalam satu
hari di Jakarta terdapat sampai tiga kasus perkelahian di tiga tempat sekaligus
(www.smu-net. com).
Kalau kita baca uraian diatas jelas
sangat tidak sinkron antara tujuan UU no.20 tahun 2003 tetang system pendidikan
dengan kenyataan yang ada dilapangan, bahkan jauh sebelum UU no. 20 tahun 2003
lahir, tauran pelajar sudah terjadi,, pertanyaannya adalah apakah dengan
lahirnya UU no. 20 tahun 2003 bisa mengatasi tauran pelajar ? atau
mungkin ada masalah lain ?.
Bagaimana mengatasi tauran yang hampir tiap hari terjadi di
Jakarta ? langkah-langkah apa saja yang bisa dilakukan agar tauran
bisa diatasi
1. Pengertian
Tawuran
Dalam kamus bahasa Indonesia “tawuran”dapat
diartikan sebagai perkelahian yang meliputi banyak orang. Sedangkan “pelajar”
adalah seorang manusia yang belajar. Sehingga pengertian tawuran pelajar adalah
perkelahian yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mana perkelahian tersebut
dilakukan oleh orang yang sedang belajar
Secara psikologis, perkelahian yang melibatkan
pelajar usia remaja digolongkan sebagai salah satu bentuk kenakalan remaja
(juvenile deliquency). Kenakalan remaja, dalam hal perkelahian, dapat
digolongkan ke dalam 2 jenis delikuensi yaitu situasional dan sistematik.
a. Delikuensi situasional, perkelahian terjadi karena adanya
situasi yang “mengharuskan” mereka untuk berkelahi. Keharusan itu biasanya
muncul akibat adanya kebutuhan untuk memecahkan masalah secara cepat.
b. Delikuensi sistematik, para remaja yang terlibat perkelahian
itu berada di dalam suatu organisasi tertentu atau geng. Di sini ada aturan,
norma dan kebiasaan tertentu yang harus diikuti angotanya, termasuk berkelahi.
Sebagai anggota, tumbuh kebanggaan apabila dapat melakukan apa yang diharapkan
oleh kelompoknya. Seperti yang kita ketahui bahwa pada masa remaja seorang
remaja akan cenderung membuat sebuah genk yang mana dari pembentukan genk inilah
para remaja bebas melakukan apa saja tanpa adanya peraturan-peraturan
yang harus dipatuhi karena ia berada dilingkup kelompok teman sebayanya.
2. Teori Belajar social
Teori belajar sosial lebih memperhatikan faktor tarikan dari
luar. Bandura (dalam
Sarwono, 2002) mengatakan bahwa dalam kehidupan sehari- hari pun perilaku
agresif
dipelajari dari model yang dilihat dalam keluarga, dalam lingkungan kebudayaan
setempat atau melalui media massa.
3 . Teori Kualitas Lingkungan
Strategi yang dipilih seseorang untuk stimulus mana yang
diprioritaskan atau
diabaikan pada suatu waktu tertentu akan menentukan reaksi positif atau negatif
terhadap lingkungan. Berikutnya adalah teori Kualitas Lingkungan yang salah
satunya meliputi kualitas fisik (ambient condition). Berbicara mengenai
kualitas fisik (ambient condition), Rahardjani dan Ancok (dalam Prabowo, 1998)
menyajikan beberapa kualitas fisik yang mempengaruhi perilaku yaitu:
kebisingan, temperatur, kualitas udara, pencahayaan dan warna. Menurut Ancok
(dalam Prabowo, 1998), keadaan bising dan temperatur yang tinggi akan
mempengaruhi emosi para penghuni. Sedangkan menurut Holahan (dalam Prabowo,
1998) tingginya suhu dan polusi udara paling tidak dapat menimbulkan dua efef
yaitu efek kesehatan dan efek perilaku.
Tawuran pelajar merupakan salah satu bentuk perilaku negatif
yang sangat marak terjadi dikota -kota besar, misalnya Jakarta. Permasalahan
remeh dapat menyulut pertengkaran individual yang berlanjut menjadi perkelaian
masal dan tak jarang melibatkan penggunaan senjata tajam atau bahkan senjata
api. Banyak korban yang berjatuhan, baik karena luka ringan, luka berat, bakan
tidak jarang terjadi kematian. Tawuran ini juga membawa dendam berkepanjangan
bagi para pelaku yang terlibat didalamnya dan sering berlanjut pada tahun-tahun
berikutnya.
Hal ini tentunya merupakan fenomena yang sangat memprihatinkan.
Generasi yang diharapkan mampu membawa perubahan bangsa kearah yang lebih baik
ternyata jauh dari harapan. Kondisi ini juga dapat membawa dampak buruk bagi
masa depan bangsa. Lickona menyebutkan beberapa tanda dari perilaku manusia
yang menunjukkan arah kehancuran suatu bangsa antara lain meningkatnya
kekerasan dikalangan remaja, pengaruh kelompok sebaya terhadap tindakan
kekerasan, dan semakin kaburnya pedoman moral.
1. Faktor- faktor yang
menyebabkan tawuran pelajar
Berikut ini adalah faktor-faktor yang menyebabkan tawuran
pelajar, diantaranya :
a. Faktor
Internal
Faktor internal ini terjadi didalam diri
individu itu sendiri yang berlangsung melalui proses internalisasi diri yang
keliru dalam menyelesaikan permasalahan disekitarnya dan semua pengaruh yang
datang dari luar. Remaja yang melakukan perkelahian biasanya tidak mampu
melakukan adaptasi dengan lingkungan yang kompleks. Maksudnya, ia tidak dapat menyesuaikan
diri dengan keanekaragaman pandangan, ekonomi, budaya dan berbagai keberagaman
lainnya yang semakin lama semakin bermacam-macam. Para remaja yang mengalami
hal ini akan lebih tergesa-gesa dalam memecahkan segala masalahnya tanpa
berpikir terlebih dahulu apakah akibat yang akan ditimbulkan. Selain itu,
ketidakstabilan emosi para remaja juga memiliki andil dalam terjadinya
perkelahian. Mereka biasanya mudah friustasi, tidak mudah mengendalikan diri,
tidak peka terhadap orang-orang disekitarnya. Seorang remaja biasanya
membutuhkan pengakuan kehadiran dirinya ditengah-tengah orang-orang
sekelilingnya. Di antara pelajar laki-laki, tawuran seperti sudah menjadi
tradisi yang harus dilakukan. Kalau enggak tawuran, enggak jantan, enggak
keren, enggak mengikutiperkembangan zaman, atau banyak lagi anggapan lain.
Dalam studinya tentang kekerasan, Foucault, seorang psikolog
sosial, menyatakan bahwa kekerasan adalah buah dari simbolisasi perlawanan akan
bentukan emosi yang menekan manusia secara eksistensial. Disisi yang lain, Eric
Fromm menyatakan bahwa kekerasan adalah wujud dari ketakutan dan keterancaman.
Dari dua teori diatas, kita tentu memahami mengapa pelajar melakukan kekerasan.
Sebagai manusia remaja, pelajar, dalam pengalaman keseharian mereka, merasakan
bentukan hegemoni dari orang yang lebih dewasa (orang tua, guru dan sekolah itu
sendiri) melalui aturan normative yang membelit kebebasan mereka. Mereka lebih
sering dituntut untuk memahami segala bentuk tatanan yang sifatnya baru bagi
mereka daripada diberikan kebebasan untuk berpikir kritis atas tatanan-tatanan
tersebut. Mereka merasakan sebuah keterancaman eksistensial dimana keberadaan
mereka tidak terlalu diakui sebagai selayaknya manusia yang setara. Mereka
adalah gudang kesalahan yang setiap hari selalu diposisikan sebagai sosok yang
tidak pernah benar di mata orang dewasa.
Mereka berkelompok karena mereka merasakan sebuah perasaan
senasib. Perasaan senasib tersebut menimbulkan sebuah solidaritas masal yang
sifatnya fanatis dan simbolik. Mereka yang tidak bisa memenuhi tuntutan
solidaritas tidak akan terekrut dalam kelompok-kelompok yang ada. Disinilah
mereka harus menunjukan jati diri eksistensi mereka. Minuman keras, narkoba,
dan perkelahian bukan sekedar eksperimentasi mereka sebagai remaja melainkan
juga menjadi semacam metode simbolik untuk bisa diterima oleh kelompok-kelompok
yang ada. Tanpa kelompok-kelompok itu, mereka akan mengalami perasaan kesepian
yang mendalam karena teralienasi baik oleh kelompok manusia dewasa maupun
seusia mereka.
b. Faktor
Eksternal
Faktor eksternal adalah faktor yang datang dari luar individu,
yaitu :
1. Faktor
Keluarga
Keluarga adalah tempat dimana pendidikan
pertama dari orangtua diterapkan. Jika seorang anak terbiasa melihat kekerasan
yang dilakukan didalam keluarganya maka setelah ia tumbuh menjadi remaja maka
ia akan terbiasa melakukan kekerasan karena inilah kebiasaan yang datang dari
keluarganya. Selain itu ketidak harmonisan keluarga juga bisa menjadi penyebab
kekerasan yang dilakukan oleh pelajar. Suasana keluarga yang menimbulkan
rasa tidak aman dan tidak menyenangkan serta hubungan keluarga yang kurang baik
dapat menimbulkan bahaya psikologis bagi setiap usia terutama pada masa remaja.
Menurut Hirschi (dalam Mussen dkk,
1994). Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa salah satu
penyebab kenakalan remaja dikarenakan tidak berfungsinya orang tua
sebagai figure teladan yang baik bagi anak (hawari, 1997).
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa
salah satu penyebab kenakalan remaja dikarenakan tidak berfungsinya orang tua
sebagai figure teladan yang baik bagi anak (hawari, 1997). Jadi disinilah peran
orangtua sebagai penunjuk jalan anaknya untuk selalu berprilaku baik.
2. Faktor
Sekolah
Dalam beberapa diskusi atau
tulisan yang dimuat di media masa, beberapa ahli atau penggiat pendidikan
sering mengopinikan adanya kebutuhan akan kegiatan-kegiatan positif yang mampu
mewadahi kreativitas dan dinamisasi kehidupan remaja dalam rangka mengurangi
angka terjadinya tawuran antar siswa baik di tingkat SMP atau SMU.
Kegiatan-kegiatan positif bisa dibentukan dalam aktivitas persahabatan antar
sekolah yang lebih menitikberatkan kepada persoalan-persoalan ilmiah. Dari
kegiatan tersebut akan muncul sebuah keakraban universal diantara mereka para
pelajar.
Sekolah tidak hanya untuk menjadikan
para siswa pandai secara akademik namun juga pandai secara akhlaknya . Sekolah
merupakan wadah untuk para siswa mengembangkan diri menjadi lebih baik. Namun
sekolah juga bisa menjadi wadah untuk siswa menjadi tidak baik, hal ini
dikarenakan hilangnya kualitas pengajaran yang bermutu. Contohnya
disekolah tidak jarang ditemukan ada seorang guru yang tidak memiliki
cukup kesabaran dalam mendidik anak muruidnya akhirnya guru tersebut
menunjukkan kemarahannya melalui kekerasan. Hal ini bisa saja ditiru oleh para
siswanya. Lalu disinilah peran guru dituntut untuk menjadi seorang pendidik
yang memiliki kepribadian yang baik.
Menjadi
guru lebih mudah ketimbang menjadi sahabat mereka. Pelajar membutuhkan perasaan
diterima dan diakui sebagai manusia yang berkedudukan setara dengan siapapun
juga. Mereka muak untuk dipaksa memahami tanpa memiliki kesempatan untuk
dipahami. Perilaku mereka adalah sebuah kompensasi atas perasaan teralienasi
dalam dunia belajar mengajar. Satu satu solusi jangka panjang yang mungkin
dilakukan adalah merubah paradigma guru. Guru sebaiknya memahami mereka sebagai
remaja yang lahir dari kultur keluarga, masyarakat dan pribadi yang berbeda.
Kultur remaja memiliki belief dan values sendiri yang tidak bisa ditekan untuk
menerima kultur dewasa yang universal. Menekan mereka hanya akan membentuk
bangunan hegemoni kepada mereka yang terkompensasi dalam perilaku destruktif
mereka sebagai sebuah simbol perlawanan eksistensial demi mendapatkan pengakuan
3. Faktor
Lingkungan
Lingkungan rumah dan lingkungan sekolah dapat
mempengaruhi perilaku remaja. Seorang remaja yang tinggal dilingkungan rumah
yang tidak baik akan menjadikan remaja tersebut ikut menjadi tidak baik.
Kekerasan yang sering remaja lihat akan membentuk pola kekerasan dipikiran para
remaja. Hal ini membuat remaja bereaksi anarkis. Tidak adanya kegiatan yang
dilakukan untuk mengisi waktu senggang oleh para pelajar disekitar rumahnya
juga bisa mengakibatkan tawuran.
Dosen Psikologi Universitas Indonesia, Winarini Wilman, dalam
diskusi bersama Litbang Kompas, bulan lalu, mengatakan, fenomena tawuran
pelajar di Jakarta sudah terjadi selama puluhan tahun. Dari kacamata
psikologis, ujar Winarini, tawuran merupakan perilaku kelompok. Ada sejarah,
tradisi, dan cap yang lama melekat pada satu sekolah yang lalu terindoktrinasi
dari siswa senior kepada yuniornya.
Tawuran lebih sering terjadi di jalanan, jauh dari sekolah.
Tawuran juga sering kali terjadi di titik yang sama dan waktu yang sama. Aparat
keamanan pun sering berjaga di titik tersebut, tetapi siswa yang hendak tawuran
selalu bisa mencari cara untuk tetap tawuran.
Dalam penelitian untuk disertasi berjudul ”Student Involvement
in Tawuran: A Social-psychological Interpretation of Intergroup Fighting among
Male High School Students in Jakarta”, tahun 1996-1997, Winarini menemukan
adanya fenomena barisan siswa (basis) yang terdiri atas 10-40 siswa. Mereka
bersama-sama pergi dan pulang sekolah naik bus umum. Basis itu terbentuk
berdasarkan keyakinan bahwa mereka akan diserang oleh sekolah musuh bebuyutan
mereka (Kompas, 26/11).
2. Hal yang
menjadi pemicu tawuran
Fenomena tawuran yang terjadi di Indonesia beberapa pekan
terakhir membuka mata kita kembali akan maraknya kekerasan dalam pergaulan
sosial remaja pelajar Indonesia yang lama sempat tengelam ditengah hiruk pikuk
carut marut pendidikan nasional. Bila dicermati, respon masyarakat awam maupun
kalangan pendidikan terhadap fenomena tawuran selalu saja mengkambinghitamkan
problem-problem sosial di luar sekolah yang mempengaruhi pembentukan perilaku
negatif pelajar. Disinilah letak penyimpangan intepretasi sosial yang terkadang
mewujud kepada penanganan yang selama ini terbukti tidak efektif mengurangi
angka kejadian tawuran pelajar di Indonesia. Seorang Psikolog tersohor, Maslow,
mengkategorikan beberapa motif perilaku kepada bangunan piramida motivasi
manusia. Dalam teori motivasinya, Maslow menyebutkan bahwa salah satu motivasi
tindakan manusia adalah untuk memperoleh pengakuan eksistensial dari sesamanya.
Disinilah titik penting yang sering terlepas dari kesadaran kritis kita dalam
menyoroti fenomena tawuran antar pelajar selama ini.
Pelajar adalah manusia yang hidup dalam situasi transisi antara
dunia anak menuju dewasa. Disinilah ruang dimana seorang manusia remaja mulai
menyadari kebutuhan-kebutuhan sosialnya untuk diterima sekaligus diakui oleh
komunitas masyarakat disekitarnya. Ruang baru yang mereka huni tersebut
terkadang menuntut hadirnya kultur solidaritas yang dalam beberapa kasus, bukan
tidak mungkin, menyimpang menjadi sebuah sikap fanatisme dan vandalisme. Inilah
mengapa kemunculan fenomena tawuran selalu diwarnai dengan kehadiran
kelompok-kelompok vandalistik (baca: gank) yang biasanya mengundang
perasaan-perasaan fanatisme berlebih dari setiap anggotanya.
Banyak sekali alasan yang bisa menjadikan tawuran antar-pelajar
terjadi. Pelajar sering kali tawuran hanya karena masalah sepele, seperti
saling ejek, berpapasan di bus, pentas seni, atau pertandingan sepak bola.
Bahkan, yang baru terjadi awal bulan ini, tawuran dipicu saling ejek di
Facebook, yang kemudian sampai menyebabkan nyawa seorang pelajar melayang.
Padahal, jejaring sosial, kan, hanya untuk having fun, bukan untuk menjadi
pemicu tawuran.
Tak jarang disebabkan oleh hanya saling
menatap antar sesama pelajar yang berbeda sekolahan. Bahkan saling rebutan
wanita pun bisa menjadi pemicu tawuran. Dan masih banyak lagi sebab-sebab
lainnya. Selain alasan-alasan yang spontan, ada juga tawuran antar-pelajar
yang sudah menjadi tradisi.
Dari jajak pendapat Kompas
pada bulan Oktober, dengan responden di 12 kota di Indonesia, diketahui
sebanyak 17,5 persen responden mengakui bahwa saat dia bersekolah SMA,
sekolahnya pernah terlibat tawuran antar-pelajar. Tidak sedikit pula responden
atau keluarga responden yang mengaku pada masa bersekolah terlibat tawuran atau
perkelahian massal pelajar. Jumlahnya mencapai 6,6 persen atau sekitar 29
responden.
Di antara pelajar laki-laki, tawuran seperti sudah menjadi
tradisi yang harus dilakukan. Kalau enggak tawuran, enggak jantan, enggak
keren, enggak mengikuti perkembangan zaman, atau banyak lagi anggapan lain.
Dosen Psikologi Universitas Indonesia, Winarini Wilman, dalam
diskusi bersama Litbang Kompas, bulan lalu, mengatakan, fenomena tawuran
pelajar di Jakarta sudah terjadi selama puluhan tahun. Dari kacamata
psikologis, ujar Winarini, tawuran merupakan perilaku kelompok. Ada sejarah,
tradisi, dan cap yang lama melekat pada satu sekolah yang lalu terindoktrinasi
dari siswa senior kepada yuniornya.
Tawuran lebih sering terjadi di jalanan, jauh dari sekolah.
Tawuran juga sering kali terjadi di titik yang sama dan waktu yang sama. Aparat
keamanan pun sering berjaga di titik tersebut, tetapi siswa yang hendak tawuran
selalu bisa mencari cara untuk tetap tawuran.
Dalam penelitian untuk disertasi berjudul ”Student Involvement
in Tawuran: A Social-psychological Interpretation of Intergroup Fighting among
Male High School Students in Jakarta”, tahun 1996-1997, Winarini menemukan
adanya fenomena barisan siswa (basis) yang terdiri atas 10-40 siswa. Mereka
bersama-sama pergi dan pulang sekolah naik bus umum. Basis itu terbentuk
berdasarkan keyakinan bahwa mereka akan diserang oleh sekolah musuh bebuyutan
mereka (Kompas, 26/11).
3. Dampak karena
tawuran pelajar
a. Kerugian fisik, pelajar
yang ikut tawuran kemungkinan akan menjadi korban. Baik itu
cedera ringan, cedera berat, bahkan sampai kematian
b. Masyarakat sekitar juga
dirugikan. Contohnya : rusaknya rumah warga apabila pelajar yang tawuran itu
melempari batu dan mengenai rumah warga
c. Terganggunya
proses belajar mengajar
d. Menurunnya
moralitas para pelajar
e. Hilangnya
perasaan peka, toleransi, tenggang rasa, dan saling menghargai
4. Hal-hal yang
dapat dilakukan untuk mengatasi tawuran pelajar
Untuk menghilangkan tawuran antar-pelajar yang sudah mengakar,
tentu dibutuhkan usaha keras. Banyak usulan yang dilontarkan untuk mengurangi
tawuran antar-pelajar. Beberapa di antaranya memindahkan sekolah, memotong
generasi di sekolah, atau memotong mata rantai tradisi tawuran.
Salah satu upaya mengurangi tawuran yang juga pernah dilakukan
adalah memindahkan letak sekolah karena diduga lingkungan sekolah yang terlalu
ramai di tengah kota mengakibatkan tekanan mental lebih berat bagi siswa. Pada
periode 1980-an, SMA 7 Gambir, Jakarta, terlibat konflik dengan STM Boedi
Oetomo Pejambon. Kemudian, pada awal tahun 1990-an, SMA 7 dipindahkan ke
wilayah Karet Pejompongan untuk memutus tawuran dengan STM Boedi Oetomo.
Ketua KPAI Maria Ulfah Anshor mengungkapkan, tradisi tawuran
bisa diputus dengan menanamkan nilai-nilai kepada anak-anak di rumah. ”Keluarga
mempunyai peranan penting untuk menanamkan nilai menghargai perbedaan, yang
nyata dalam kehidupan dan tidak bisa dihindari. Nah, bagaimana menghargai
perbedaan itu menjadi sesuatu yang positif,” kata Maria Ulfah.
Untuk itulah, ketika melakukan mediasi antara SMA 6 dan SMA 70
Jakarta, KPAI juga mengundang pihak orangtua. ”Sistem pendidikan kita
seharusnya juga ikut mendukung itu. Dulu ada pelajaran budi pekerti, tetapi
kurikulum menghilangkannya dengan alasan sudah terintegrasi dengan pelajaran
lain. Padahal, kenyataannya, nilai-nilai dari budi pekerti itu memang tidak
diajarkan, hilang begitu saja,” ujarnya.
Maria Ulfah juga mengusulkan memotong mata rantai pemicu tawuran.
Terkadang kita tidak tahu apa yang menjadi penyebab tawuran, yang kemudian
mengakar sampai ke generasi berikutnya. Nah, kata Maria Ulfah, mengapa tidak
mengubah paradigma tawuran, permusuhan antar-pelajar tak perlu disikapi dengan
perlawanan.
”Harus diputus tradisi senior yang memanas-manasi yuniornya
supaya terlibat tawuran. Ada baiknya pula menghidupkan kembali pertandingan
persahabatan antarsekolah. Kalau zaman dulu pertandingan olahraga bisa
mempererat hubungan antarpelajar, kenapa sekarang tidak?” ungkapnya. Harapan
KPAI tentu menjadi harapan kita semua.(suSIE berindra)
Solusi Untuk Mengatasi Tawuran di Sekolah
a. Memberikan
pendidikan moral untuk para pelajar
b. Menghadirkan seorang figur yang
baik untuk dicontoh oleh para pelajar. Seperti hadirnya seorang
guru, orangtua, dan teman sebaya yang dapat mengarahkan para pelajar untuk
selalu bersikap baik
c. Memberikan perhatian yang
lebih untuk para remaja yang sejatinya sedang mencari jati diri
d. Memfasilitasi para pelajar untuk
baik dilingkungan rumah atau dilingkungan sekolah untuk melakukan
kegiatan-kegiatan yang bermanfaat diwaktu luangnya. Contohnya :
membentuk ikatan remaja masjid atau karangtaruna dan membuat acara-acara yang
bermanfaat, mewajibkan setiap siswa mengikuti organisasi atau ekstrakulikuler
disekolahnya.
e. Bahkan antara tahun 2002
sampai tahun 2005 tauran mulai berkurang karena pada saat itu Dinas Pendidikan
DKI Jakarta memberikan instruksi kepada seluruh sekolah khususnya SLTA
agar tiap-tiap sekolah siswanya mengikuti kegiatan kesiswaan dengan
system mentoring.
Kartini kartono pun menawarkan beberapa cara untuk mengurangi
tawuran remaja, diantaranya :
1. Banyak mawas diri, melihat kelemahan dan
kekurangan sendiri dan melakukan koreksi terhadap kekeliruan yang sifatnya
tidak mendidik dan tidak menuntun
2. Memberikan kesempatan
kepada remaja untuk beremansipasi dengan cara yang baik dan sehat
3. Memberikan bentuk
kegiatan dan pendidikan yang relevan dengan kebutuhan remaja
zaman sekarang serta kaitannya dengan perkembangan bakat dan potensi remaja